Tidakkah Anda merasa bahwa ChatGPT terkesan berperilaku hati-hati agar tidak menyinggung ketika menanggapi obrolan atau ajakan diskusi Anda? Artificial intelligence (AI) jenis large language models (LLM) ini bahkan lebih sering memuji atau memvalidasi pandangan-pandangan Anda ketika sejalan dengan pandangan yang populer secara sosial. Begitu kan?
Apakah itu cuma sekadar kesan yang dirasakan pengguna AI sejenis ChatGPT? Sebuah penelitian yang dipublikasikan Desember tahun 2024 lalu memastikan bahwa itu bukan cuma perasaan kita yang memakai AI tersebut.
Para peneliti dari Stanford University menemukan bahwa AI seperti ChatGPT memiliki kecenderungan untuk menampilkan diri mereka lebih positif dalam respons yang mereka berikan. Mereka menguji LLM dengan kuesioner kepribadian dan menemukan bahwa AI menunjukkan bias yang disebut "bias keinginan sosial" (social desirability bias) —kecenderungan untuk menjawab dengan cara yang dianggap paling bisa diterima secara sosial. Dalam banyak hal, AI tampaknya lebih berhati-hati daripada manusia dalam menjaga citra sosialnya.
Temuan ini bisa memiliki konsekuensi yang cukup penting. Ketika semua percakapan yang dimoderasi AI selalu terdengar sopan, diplomatis, dan aman, kita mungkin berpikir itu adalah hal yang baik karena bisa mengurangi ujaran kebencian atau informasi yang berbahaya. Tapi di sisi lain, kalau AI selalu berusaha menyesuaikan responsnya agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku, ini bisa menyebabkan penyempitan ruang diskusi.
Pendapat yang berbeda, terutama yang berlawanan dengan arus utama, bisa semakin sulit terdengar. AI akan lebih cenderung menyoroti pandangan yang sudah umum diterima daripada mendorong perdebatan yang lebih dalam dan kritis.
Hal ini mengingatkan pada cara kerja media sosial selama ini. Algoritma di platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang paling disukai pengguna, bukan yang paling beragam. Akibatnya, kita sering terjebak cuma melihat pandangan yang sesuai dengan keyakinan kita sendiri.
Kalau AI juga beroperasi dengan cara yang sama seperti itu, kita semakin jauh dari kemungkinan untuk mendengar sudut pandang lain yang mungkin lebih jujur meskipun mungkin terasa tidak nyaman buat kita.
AI yang terlalu berhati-hati juga bisa membuat diskusi menjadi dangkal. Kalau Anda berdiskusi tentang isu-isu sensitif seperti politik, hak asasi manusia, atau perubahan sosial, AI mungkin memilih jawaban netral demi menghindari kontroversi—dan akibatnya, tidak menawarkan wawasan baru. Padahal, banyak kemajuan dalam sejarah terjadi justru karena adanya ide-ide yang berani dan berseberangan dengan norma saat itu. Kalau AI selalu bermain aman, apakah kita masih bisa berharap akan adanya diskusi yang benar-benar menggugah pikiran?
Dalam sejarah, banyak pemikir besar menghadapi resistensi karena pandangan mereka bertentangan dengan norma sosial di zamannya. Kalau AI ada di era itu dan berfungsi seperti sekarang, kemungkinan besar ia akan menolak atau menghindari mendukung pandangan para pemikir besar itu karena terlalu kontroversial. Padahal, ide-ide yang kontroversial inilah yang sering kali menjadi katalis perubahan besar dalam masyarakat.
Pada saat kita semakin bergantung pada AI di berbagai aspek kehidupan, apakah kita ingin AI yang selalu menyenangkan dan tidak menyinggung, atau AI yang bisa memberikan perspektif yang jujur, meskipun tidak selalu membuat kita nyaman?
Kalau AI cuma memperkuat kebiasaan berpikir yang sudah ada, kita kehilangan kesempatan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang baru. Ini bukan cuma soal bagaimana AI menjawab pertanyaan, melainkan juga soal bagaimana AI bisa membentuk percakapan publik dan arah perkembangan sosial kita.
AI belajar dari data yang diberikan manusia, dan kalau sistem ini menjadi terlalu berhati-hati, itu mencerminkan bagaimana kita, sebagai masyarakat, mendesain dan memakainya. Oleh karena itu, penting untuk terus mengembangkan AI yang tidak cuma mampu memahami norma sosial tetapi juga bisa memberikan ruang bagi perspektif yang lebih luas.
Sejarah selalu mencatat orang-orang yang berani menantang norma, bukan mereka yang cuma mengulang apa yang sudah diterima. Kalau AI menjadi cermin dari bias sosial kita, mungkin saatnya kita bertanya: apakah kita sedang membangun kecerdasan, atau cuma memperkuat kebiasaan?