Dalam buku "Future Shock" yang terbit pada 1970, Alvin Toffler menyinggung tentang informasi yang membludak, yang sulit diproses oleh individu maupun sistem. Dalam fenomena yang ia sebut sebagai information overload, Toffler menjelaskan bahwa kelebihan informasi ini bisa menyebabkan kebingungan, pengambilan keputusan yang buruk, dan bahkan stres.
Lebih dari 50 tahun kemudian, di era digital yang sedang kita jalani ini, prediksi itu terbukti. Kita menghadapi ledakan informasi yang sulit dikelola tanpa bantuan sistem eksternal. Setiap hari, kita dibombardir oleh data dari email, media sosial, artikel, hingga catatan kerja. Ingatan manusia punya batas, sementara tuntutan produktivitas terus meningkat.
Tiago Forte dalam Building a Second Brain menawarkan solusi dengan membangun sistem eksternal yang membantu kita menyimpan, mengatur, dan mengolah informasi secara lebih efektif. Pendekatan yang ia tawarkan mencerminkan konsep Extended Mind yang digagas oleh Andy Clark dan David Chalmers, di mana pikiran manusia tidak terbatas pada otak saja, tetapi juga bisa meluas ke lingkungan eksternal.
Teknologi, dalam hal ini, bukan sekadar alat bantu, tetapi menjadi bagian integral dari proses berpikir kita. Kalau seseorang mencatat ide di ponsel dan mengandalkannya untuk mengingat informasi, maka ponsel itu bukan lagi sekadar perangkat, melainkan ekstensi dari ingatannya. Sistem seperti Second Brain memungkinkan kita menyusun informasi secara sistematis dan mempertahankan kendali atas proses berpikir kita.
Namun, pendekatan Forte tetap mengandalkan manusia sebagai pengendali utama. Kini, hadir AI seperti TwinMind yang melangkah lebih jauh: bukan cuma membantu, tetapi juga berpotensi menggantikan proses kognitif tertentu.
TwinMind menawarkan otomatisasi penuh—ia belajar, menyimpan, mengingat, mengolah, dan menyajikan informasi dalam konteks yang dianggap relevan. Sistem ini bisa mengingatkan kita tentang peristiwa penting, menyusun ulang informasi, dan bahkan menawarkan saran berdasarkan kebiasaan kita. Dengan kata lain, AI ini bukan sekadar ekstensi pikiran, tetapi juga mulai membentuk cara kita berpikir dan mengambil keputusan.
Otomatisasi ini menawarkan kemudahan luar biasa, tetapi juga membawa risiko besar. Kalau AI semakin banyak membuat keputusan untuk kita, apakah kita masih punya kendali penuh atas pikiran kita sendiri? Sejauh mana kita masih berpikir secara mandiri kalau sebagian dari proses kognitif kita telah diambil alih oleh sistem eksternal?
Inilah dilema utama: semakin canggih AI dalam membantu kita berpikir, semakin besar pula potensi ketergantungan kita. Apakah ini masih termasuk Extended Mind, atau sudah menjadi bentuk delegasi berpikir kepada entitas eksternal?
Kita tidak bisa menghindari teknologi, tetapi kita perlu memahami batas penggunaannya. Sistem seperti Second Brain memungkinkan kita untuk mengelola informasi dengan lebih terstruktur, tetapi AI seperti TwinMind menantang kita untuk memikirkan kembali batas antara manusia dan mesin. Penting bagi kita untuk tetap menjadi pengendali utama.
Pendekatan terbaik bukanlah menolak teknologi, tetapi memastikan bahwa kita memakainya dengan bijak. AI yang memperkuat pemikiran kita harus tetap menjadi alat bantu, bukan menggantikan proses berpikir itu sendiri. Kesadaran akan bagaimana teknologi memengaruhi cara kita mengingat, berpikir, dan mengambil keputusan adalah langkah pertama untuk membangun hubungan yang lebih sehat antara manusia dan mesin.
Namun, kalau AI tak lagi sekadar membantu, tetapi mulai berpikir untuk kita, apakah kita masih punya kendali atas pikiran kita sendiri? Ataukah kita sedang memasuki era di mana batas antara manusia dan mesin tak lagi bisa dibedakan—bukan karena teknologi semakin cerdas, tetapi karena kita tanpa sadar telah menyerahkan terlalu banyak?
Pertama kali terbit di Arina.id