'“Seeing is believing,” kata pepatah lama. Tapi di zaman kita sekarang, ungkapan itu terdengar naif. Apa yang kita lihat dan dengar tidak lagi bisa langsung dipercaya. Kenyataan bukan lagi sesuatu yang bisa dirasakan secara pasti melalui indra, karena apa yang tampak dan terdengar bisa dipalsukan oleh mesin yang diciptakan manusia sendiri.
Pada awal April ini, CNBC melaporkan bahwa sejumlah perusahaan di Amerika Serikat dibanjiri pelamar kerja palsu. Dengan bantuan AI generatif dan teknologi deepfake, para pelamar ini menciptakan identitas lengkap: CV yang disusun oleh mesin, serta video wawancara dengan wajah dan suara palsu. Pewawancara pun kesulitan membedakan mana yang manusia, mana yang simulasi.
Di sisi lain, Microsoft tengah menguji fitur Copilot Vision, yang memungkinkan AI “melihat” layar komputer pengguna, membaca aplikasi yang sedang digunakan, dan memberikan saran berdasarkan pengamatannya. Ini bukan lagi AI sebagai mesin pencari, tapi AI sebagai mata digital yang memahami konteks dan bertindak secara sensorik.
Dua peristiwa ini mencerminkan ironi zaman kita: manusia menciptakan mesin yang bisa melihat dan mendengar, tapi kehilangan kepercayaan pada mata dan telinganya sendiri. Ini bukan sekadar persoalan teknologi. Ini krisis persepsi yang mengguncang dasar epistemik manusia: bagaimana kita tahu sesuatu itu benar?
Manusia sering mengandalkan penglihatan dan pendengaran sebagai dasar pengetahuan. Apa yang tampak di depan mata diyakini nyata. Apa yang terdengar di telinga diasumsikan benar.
Namun teknologi seperti deepfake dan voice cloning mengubah segalanya. Sekarang, siapa pun bisa “mengucapkan” sesuatu tanpa pernah mengatakannya. Wajah bisa direkayasa, suara bisa dipalsukan, dan bahkan gerak tubuh bisa disimulasikan secara meyakinkan.
Akibatnya, pengalaman indrawi tidak lagi menjamin kebenaran. Dunia yang dulu bisa dipercaya dengan mata kepala sendiri sekarang jadi ruang manipulasi visual dan auditif. Kita hidup dalam era pasca-indra, di mana keraguan lebih wajar daripada keyakinan.
Sementara manusia dilanda krisis kepercayaan pada indranya, mesin justru dipersenjatai dengan kemampuan sensorik. AI sekarang tidak cuma mengolah data, tapi juga ‘melihat’ dan ‘mendengar’. Copilot Vision adalah contoh terkini. Tapi sebelumnya sudah ada facial recognition, mobil otonom, voice assistant, dan banyak sistem yang mengenali emosi melalui intonasi suara.
Manusia menyerahkan sebagian fungsi persepsinya kepada mesin. Tak cuma untuk membantu, tapi juga untuk memverifikasi kenyataan. Kita mengandalkan AI untuk mendeteksi deepfake, membedakan suara asli dari palsu, bahkan menilai keaslian dokumen dan gambar.
Namun yang dipertaruhkan lebih dari sekadar kenyamanan teknologis. Kita sedang menciptakan otoritas baru atas realitas. Yaitu, otoritas yang non-organik, tanpa tubuh, tanpa pengalaman eksistensial.
Kita harus sangat sadar bahwa kita sudah berada di dalam sistem ini. Dan seperti yang ditunjukkan sejarah, dorongan inovasi dan efisiensi tidak akan berhenti. Kita tidak bisa kembali ke masa sebelum AI.
Justru karena itulah, jalan ke depan bukanlah melawan teknologi, tapi merefleksikan ulang bagaimana kita memahami kenyataan. Kita butuh cara berpikir baru yang tidak bergantung sepenuhnya pada sensor, tetapi juga tidak menyerah sepenuhnya pada algoritma.
Inilah titik awal dari apa yang bisa disebut sebagai evolusi kesadaran.
Yang berubah bukan tubuh manusia, tapi cara manusia mengenali dan memberi makna. Kita mulai menyadari bahwa kenyataan tidak bisa direduksi menjadi sekadar representasi visual dan suara. Ia butuh interpretasi, kedalaman, dan refleksi.
Di sinilah peran sains, filsafat, dan spiritualitas menjadi relevan kembali. Sains bukan cuma alat, tapi ladang tanya. Filsafat bukan hiasan, tapi kerangka berpikir. Spiritualitas bukan pelarian, tapi cara untuk menyentuh yang tidak bisa ditangkap oleh sensor atau data.
Evolusi ini berdampak luas. Dalam budaya, kita butuh narasi yang melampaui citra dan impresi. Dalam politik, kita harus membangun sistem kepercayaan baru di luar retorika manipulatif. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus belajar mempercayai bukan cuma apa yang tampak, tapi juga apa yang terhubung secara batin.
Kita perlu mempersiapkan diri. Bukan cuma dengan regulasi atau teknologi verifikasi, tapi dengan literasi persepsi. Kita perlu belajar meragukan tanpa terjebak sinisme, mempercayai tanpa jadi naif.
Kita butuh etika teknologi yang sadar bahwa desain bukan netral. Kita butuh sistem sosial yang tidak cuma mengejar kecepatan, tapi juga ketepatan makna.
Dan kita perlu ruang kontemplatif. Ruang untuk jeda. Untuk hening. Untuk mengalami dunia bukan lewat layar, tapi lewat kehadiran.
Apa yang kita hadapi bukan kehancuran, melainkan pergeseran. Kita sedang berpindah dari dunia yang bisa ditangkap indra, menuju dunia yang cuma bisa dimengerti melalui kesadaran yang lebih dalam.
Selama manusia masih bisa bertanya, meragukan, dan menggali makna, kesadarannya belum selesai. Ia sedang bertumbuh.