Semakin hari, berita-berita tentang artificial intelligence (AI) semakin memperkuat ide tentang mengganti seluruh tenaga kerja manusia dengan agen AI. Ada berita tentang kapitalis ventura terkenal, Victor Lazarte, yang membantah anggapan bahwa AI menambah kesempatan kerja manusia, bukan menggantikan manusia. “Itu omong kosong,” katanya, “AI sepenuhnya sedang menggantikan manusia.”
Ada juga berita tentang startup, bernama Mechanize, yang menamakan misinya sebagai “menghapus kebutuhan atas manusia dalam setiap pekerjaan.”
Apa yang sedang terjadi? Mengapa ada dorongan begitu kuat, bahkan semacam obsesi, untuk menggeser manusia dari dunia kerja?
Ini bukan soal efisiensi teknologi. Ini soal bagaimana manusia memandang manusia lain, dan bagaimana kita berada dalam sistem ekonomi yang mendorong dehumanisasi sebagai bentuk rasionalitas baru.
Dalam lintasan pemikiran filsafat, teknologi sering dilihat secara ideal sebagai perpanjangan dari kodrat manusia. Pada masa Revolusi Industri, ada pemikiran yang menganggap mesin sebagai perpanjangan tangan manusia; yaitu, alat yang memungkinkan manusia melampaui keterbatasan fisiknya.
Di era AI, muncul gagasan bahwa teknologi adalah perpanjangan atau perluasan pikiran. Kecerdasan buatan dirancang untuk memperluas kapasitas kognitif manusia, membantu berpikir lebih cepat, lebih akurat, dan lebih luas.
Tetapi di luar ruang filsafat, kenyataan berjalan sangat berbeda. Di lorong-lorong rapat dewan perusahaan, arah teknologi ditentukan oleh logika yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam praktik kapitalisme, Revolusi Industri bukanlah kisah tentang manusia yang memegang kendali atas mesin, tetapi tentang manusia yang dijadikan bagian dari mesin. Sedangkan dalam Revolusi AI, manusia tidak lagi diposisikan sebagai subjek yang mencipta dan mengatur data, tetapi justru direduksi menjadi data itu sendiri. Pengalaman, perilaku, keputusan, emosi, semuanya dipetakan, dikalkulasi, dan dieksploitasi untuk melatih sistem yang pada akhirnya akan menggantikan sang pemilik pengalaman itu sendiri.
Itu adalah kelanjutan dari sebuah warisan panjang dehumanisasi. Dalam sistem perbudakan, manusia adalah properti. Dalam sistem kolonial, manusia adalah sumber daya.
Dari satu era ke era berikutnya, manusia terus dikerdilkan dari subjek menjadi objek. Bukan karena teknologi membuatnya demikian, tapi karena sistem ekonomi yang berkuasa memilih untuk melihatnya demikian.
Yang lebih mengkhawatirkan, penghapusan manusia dari pekerjaan juga berarti penghapusan potensi resistensi. Manusia bisa menolak, bisa berdiskusi, bisa menuntut keadilan. AI tidak.
Dalam hal ini, penggantian manusia dengan AI bukan cuma soal efisiensi ekonomi, tapi juga tentang “politik kendali”. Dunia kerja yang dihuni agen-agen AI adalah dunia yang lebih mudah dikendalikan, lebih sunyi, dan lebih tunduk. Tidak ada serikat pekerja, tidak ada demo, tidak ada suara.
Maka ketika kita mendengar startup besar membayangkan dunia di mana semua pekerjaan bisa diotomatisasi, kita sedang mengintip isi kepala sistem yang tidak lagi percaya pada nilai kemanusiaan. Dunia seperti itu tidak lahir karena AI terlalu cerdas, tetapi karena kita terlalu lama terbiasa dengan ide bahwa nilai manusia diukur dari produktivitasnya.
Pertanyaannya bukan lagi, “Apa pekerjaan yang tersisa untuk manusia?”; melainkan “Apa yang tersisa dari manusia, kalau seluruh pekerjaan diambil alih oleh AI?”
Inilah saatnya kita bertanya ulang, bukan tentang masa depan AI, tetapi tentang masa depan kemanusiaan. Apakah kita ingin hidup dalam dunia yang dibentuk oleh logika bahwa cuma yang efisien yang layak ada? Atau kita ingin membangun dunia baru, di mana manusia tetap punya tempat; bukan karena ia produktif, tapi karena ia hidup, merasa, dan bermakna?
Bagaimanapun, teknologi adalah alat. Cara kita menggunakannya akan menentukan siapa yang tetap dianggap manusia.