Artificial Intelligence dan Perlambatan Yang Membekas

Ramadan sudah melewati kita. Namun ada ingatan yang bisa jadi membekas di dalam diri banyak orang: semacam perlambatan yang tak sekadar mengubah rutinitas harian, tapi juga mengubah irama batin selama Ramadan.

Perlambatan itu memaksa orang menahan diri, memperlambat reaksi, menggeser fokus dari jagat besar ke jagat kecil, dari dunia tubuh dan benda-benda ke “dunia dalam” diri masing-masing. Perlambatan itu juga memberi ruang yang penuh dengan kemungkinan untuk mendengarkan, merasakan, dan menyadari.

Itu semua terasa begitu kontras dengan kehidupan hari ini. Dunia sekarang menuntut kecepatan. Orang-orang didorong untuk berpikir cepat, bertindak cepat, bahkan merasa cepat.

Artificial intelligence (AI) bisa jadi merupakan puncak dari orientasi ini. Ia bukan sekadar alat, tapi simbol dari dorongan zaman untuk mempercepat segalanya. Butuh jawaban? AI bisa menyediakannya dalam detik. Tak sempat menulis? AI bisa merangkai kata. Ingin memahami sesuatu tanpa harus membaca panjang? Tinggal minta AI merangkumkannya. Dalam dunia seperti ini, bahkan proses berpikir pun bisa dianggap terlalu lambat—dan terlalu manusiawi.

Nah, Ramadan mengingatkan bahwa tidak semua hal harus dipercepat. Ada nilai dalam menunda. Ada makna dalam menahan. Ada kehadiran dalam melambat.

Ramadan tidak melawan AI secara langsung, tidak pula menolak teknologi. Tapi ia memberi ruang lain, yang tidak bisa diisi oleh sistem mana pun: ruang batin, tempat sunyi di mana manusia mengenali dirinya sendiri.

Perlambatan yang dialami selama Ramadan bukan soal produktivitas, tapi soal kesadaran. Menahan lapar bukan cuma ritual, tapi latihan untuk mengenali batas, menghayati kekurangan, dan merasakan empati. Menunda amarah bukan cuma soal kendali diri, tapi tentang memberi waktu pada emosi untuk duduk dulu sebelum bicara. Bahkan ibadah-ibadah yang dijalani terasa lebih lambat, lebih khusyuk, karena ritme hidup diturunkan.

Dan bukankah justru dalam ritme yang pelan itu kedalaman ditemukan? Saat tidak tergesa, orang bisa melihat lebih jauh. Saat tidak ingin segera selesai, orang bisa betah tinggal dalam makna. Itulah yang sering hilang dalam kehidupan yang terus memuja kecepatan: ruang untuk hadir secara utuh. Kecepatan membuat kita efisien, tapi perlambatan memberi kita rasa.

Mungkin kita tak bisa selalu hidup pelan-pelan. Kita tetap harus bekerja, merespons, beradaptasi dengan perubahan yang cepat. Tapi kita bisa memilih untuk menyisakan ruang perlambatan di tengah semua itu.

Teknologi boleh maju, AI boleh berkembang, tapi manusia tetap butuh jeda. Bukan untuk mundur, tapi untuk mengakar. Karena justru dari akar itulah kita bisa tumbuh ke mana saja, tanpa kehilangan arah.

Kontak