Mesin semakin cerdas, otomatisasi semakin luas, dan perusahaan raksasa semakin kuat. Tapi bagaimana dengan mereka yang selama ini menopang sistem ekonomi dengan tenaga dan keahliannya?
Itulah yang menjadi kekhawatiran dalam AI Action Summit di Paris minggu lalu. AI berkembang dengan kecepatan luar biasa, tetapi siapa yang akan diuntungkan? Para pemimpin dunia membahas bagaimana teknologi ini berpotensi memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi, menciptakan jurang antara mereka yang menguasai teknologi dan mereka yang menggantungkan hidup pada sistem lama.
Pertemuan itu mengingatkan kita pada Revolusi Industri pada abad ke-19, yang mengubah cara dunia bekerja. Mesin-mesin menggantikan tenaga manusia, produksi meningkat, dan keuntungan perusahaan melonjak. Namun, pekerja yang menopang sistem itu justru menghadapi situasi yang lebih sulit. Upah mereka stagnan, jam kerja panjang, dan kondisi hidup memburuk.
Filsuf Friedrich Engels mengamati bagaimana kemajuan teknologi saat itu tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan pekerja. Kemakmuran industri tidak terbagi merata, melainkan terkonsentrasi pada segelintir orang.
Fenomena ini kemudian disebut Engels’ Pause, sebuah jeda dalam kesejahteraan kelas pekerja yang baru berakhir setelah tekanan sosial dan politik yang cukup besar. Teknologi selalu datang dengan janji perubahan, tetapi pertanyaannya selalu sama: siapa yang lebih dulu merasakan manfaatnya, dan siapa yang harus menunggu di belakang?
Lebih dari satu abad kemudian, sekarang dunia kembali berada dalam persimpangan yang serupa. Mesin-mesin baru bukan lagi sekadar uap dan roda gigi, melainkan algoritma dan jaringan saraf buatan. AI menggantikan manusia di berbagai sektor—kasir yang tergantikan oleh mesin self-checkout, analis data yang dilampaui oleh kecerdasan buatan yang lebih cepat, jurnalis yang harus bersaing dengan model AI yang bisa menulis berita dalam hitungan detik. Seperti dalam Revolusi Industri, mereka yang menguasai teknologi ini meraup keuntungan besar, sementara pekerja yang terdampak dihadapkan pada ketidakpastian.
Meski begitu, ada satu hal yang membedakan era ini dengan era sebelumnya. Dahulu mesin cuma menggantikan tenaga fisik manusia, kini AI tidak cuma mengambil alih tugas-tugas manual tetapi juga tugas-tugas kognitif. Ini mengubah bukan cuma cara manusia bekerja, tetapi juga bagaimana tenaga kerja dipahami dalam sistem ekonomi digital.
Sebelumnya, peran pekerja masih jelas dalam rantai produksi—baik sebagai buruh di pabrik, karyawan di kantor, atau profesional di bidang tertentu. Kini, batas-batas itu menjadi kabur.
Banyak orang bekerja di dalam ekosistem digital, tetapi tidak selalu memiliki status sebagai pekerja yang diakui secara hukum. Kreator konten di platform digital, pekerja lepas di ekonomi gig, hingga individu yang tanpa sadar menyumbangkan data untuk model AI—semuanya berkontribusi terhadap ekonomi baru ini, tetapi tidak selalu mendapatkan perlindungan atau keuntungan yang setara.
Ketika perubahan ini terus bergulir, muncul berbagai usulan tentang bagaimana kebijakan publik harus merespons. Haruskah kita membiarkan pasar menentukan nasib tenaga kerja? Atau, seperti dalam revolusi sebelumnya, apakah negara harus turun tangan untuk memastikan bahwa transisi ini tidak meninggalkan terlalu banyak orang dalam ketidakpastian?
Salah satu gagasan yang semakin sering dibahas adalah bagaimana perusahaan yang menggantikan tenaga manusia dengan otomatisasi seharusnya ikut menanggung dampaknya. Dari sinilah muncul ide pajak robot—sebuah konsep yang mencoba mengoreksi ketimpangan yang muncul akibat AI dan otomatisasi.
Konsep ini sederhana: kalau sebuah perusahaan menggantikan pekerja manusia dengan otomatisasi, mereka tetap harus membayar pajak yang setara dengan pajak penghasilan yang seharusnya diterima dari pekerja tersebut. Uang dari pajak ini bisa dipakai untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan, misalnya dengan memberikan pelatihan keterampilan baru.
Beberapa negara telah mengambil langkah serupa dengan membatasi insentif bagi perusahaan yang terlalu agresif menggantikan tenaga manusia dengan otomatisasi. Korea Selatan, misalnya, mengurangi keringanan pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam otomatisasi sejak 2017.
Tapi sampai saat ini, gagasan ini masih diperdebatkan. Ada yang percaya bahwa pajak semacam ini bisa menjadi cara untuk memperlambat ketimpangan, sementara yang lain melihatnya sebagai hambatan bagi inovasi.
Kalau AI memang sedang menciptakan Engels’ Pause baru, pertanyaannya bukan lagi apakah kemajuan ini tak terhindarkan, tetapi seberapa lama jeda ini akan berlangsung, dan siapa yang akan menentukan kapan ia berakhir.
Dalam menghadapi perubahan ini, banyak yang mengatakan bahwa solusi terletak pada regulasi yang tepat, pendidikan yang mempersiapkan pekerja untuk era baru, atau bahkan skema pendapatan dasar universal yang menjamin setiap orang tetap memiliki akses terhadap kehidupan yang layak.
Namun semua itu masih bersifat spekulatif. Yang pasti, sejarah menunjukkan bahwa sistem ekonomi tidak pernah berubah dengan sendirinya. Selalu ada dinamika tarik-menarik antara inovasi dan tuntutan keadilan.
Kalau Engels’ Pause memang sedang terjadi di era AI, maka pertanyaannya bukan sekadar tentang teknologi mana yang akan menggantikan manusia, tetapi bagaimana manusia akan menegosiasikan tempatnya dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh mesin. Apakah kita cuma akan menjadi penumpang pasif dalam revolusi ini, atau kita akan mengambil peran aktif dalam menentukan arah perkembangannya?
Karena pada akhirnya, bukan teknologi yang menentukan arah peradaban, tetapi bagaimana manusia memilih untuk mengarahkannya—sebagai penguasa atas mesin, atau sebagai pengikut tanpa kendali.
Pertama kali diterbitkan di Arina.id