Di langit Timur Tengah, rudal dan jet tempur mungkin saling berkejaran. Tapi di layar-layar laptop, tablet, atau smartphone kita, perang justru berlangsung dalam bentuk yang jauh lebih diam; dan jauh lebih licik.
Tidak ada dentuman. Tidak ada serpihan puing. Hanya gambar-gambar yang meluncur di linimasa, video dramatis tentang kehancuran, suara ledakan yang terdengar realistis tapi ternyata hasil sintesis. Perang, hari ini, tidak lagi berlangsung di perbatasan antarnegara. Perang juga berkecamuk di ruang digital tempat kita hidup sehari-hari.
Konflik antara Iran dan Israel memperlihatkan kepada kita babak baru dari wajah perang modern. Media, pemerintah negara yang bertikai, akun anonim, bahkan netizen biasa menyebarkan visual tentang kehancuran. Sebagian konten-konten visual yang kita saksikan itu ternyata buatan AI (artificial intelligence).
Tidak sedikit dari video dan gambar yang viral adalah hasil dari generator visual seperti Veo atau Runway. Kita diberi tontonan tentang kota yang hancur, jet yang terbakar, dan peluncuran rudal yang seolah direkam langsung dari garis depan. Tapi banyak dari itu tidak benar-benar terjadi.
Orang-orang menyebut fenomena ini sebagai AI slop -tumpahan konten palsu yang terlihat meyakinkan, disebarkan untuk membentuk persepsi. Inilah medan perang baru yang perlu kita pahami. Perang hari ini tidak cuma tentang senjata dan strategi militer, tapi juga tentang siapa yang paling berhasil menciptakan kenyataan versi mereka dan menyebarkannya sebelum kebenaran sempat bicara.
Di medan perang digital, setidaknya ada empat jenis kemenangan yang diperjuangkan dan diperbutkan.
Pertama, kemenangan atas narasi. Ini terkait siapa yang dianggap benar oleh publik global.
Kedua, kemenangan atas ingatan kolektif. Bagaimanapun, konten yang viral hari ini bisa jadi "catatan sejarah" esok hari.
Ketiga, kemenangan atas waktu. Ingatlah, narasi palsu menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi.
Dan keempat, kemenangan atas kepercayaan. Ini terjadi ketika publik tidak lagi yakin pada media, pemerintah, bahkan pada nalar mereka sendiri.
Dari sini kita tahu, kemenangan di medan konvensional -seperti merebut wilayah atau menghancurkan infrastruktur- mungkin tidak lagi cukup. Bahkan bisa jadi tidak punya arti tanpa kemenangan dalam dimensi digital ini. Karena perang hari ini bukan cuma tentang menjatuhkan lawan, tapi juga tentang memenangi pikiran publik -baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.
Lalu bagaimana dengan kita, yang tidak terlibat langsung dalam konflik ini? Apa posisi kita di tengah perang yang bergeser ke ranah naratif?
Kita ini disebut “audiens”, tapi sebetulnya kita bukan sekadar penonton. Kita adalah bagian dari sistem yang membuat satu versi kenyataan tersebar lebih luas dari yang lain.
Kita adalah amplifier: setiap unggahan, komentar, atau sekadar 'like' bisa memperbesar gema dari satu narasi -entah kita sadari atau tidak. Dalam banyak kasus, kita melakukannya sebelum sempat berpikir, atau bertanya: ini benar atau tidak?
Di sinilah tanggung jawab kita dimulai. Sebagai audiens peperangan, kita tidak bisa lagi netral dalam pemahaman lama -pasif, diam, tidak terlibat. Karena dalam sistem media sosial yang algoritmik, diam pun bisa berarti menyerah pada dominasi satu narasi.
Kita perlu belajar untuk lebih lambat marah, lebih pelan percaya, dan lebih sabar dalam menyimak konteks. Kita perlu bertanya: siapa yang membuat konten ini? Untuk kepentingan siapa? Apa yang ingin mereka bangun lewat gambar ini?
Berpihak tetap penting, tapi bukan berpihak secara buta. Kita bisa dan harus berpihak pada kemanusiaan. Kita mendukung siapa pun yang terluka oleh kekuasaan yang semena-mena, siapa pun yang jadi korban atas nama strategi geopolitik. Dan lebih dari itu, kita menolak untuk ikut memperparah kekacauan dengan menyebarkan konten yang tidak kita pahami asal-usul dan kebenarannya.
Kita juga perlu menyadari bahwa hari ini, banyak dari kita telah menjadi prajurit digital yang bekerja gratis untuk mesin propaganda. Bukan karena kita jahat, tapi karena kita gegabah. Karena kita terbiasa berpikir bahwa membagikan ulang sebuah video adalah bentuk kepedulian, padahal bisa jadi kita sedang memperkuat kebohongan yang berbahaya.
Ketika disinformasi menjadi senjata utama, maka kehati-hatian adalah bentuk keberpihakan yang paling radikal. Mampu menahan diri untuk tidak terjebak dalam kegaduhan digital adalah bentuk perlawanan terhadap ilusi yang dibangun mesin.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang perang ini, melainkan siapa yang akan membentuk ingatan kita tentang perang ini? Siapa yang berhasil meyakinkan kita bahwa mereka yang menang, memang pantas menang? Dan lebih penting lagi, apakah kita mau jadi alat dari narasi itu, atau jadi penjaga kewarasan di tengah kabut?
Dalam peperangan hari ini, yang diperebutkan bukan lagi sekadar tanah atau kekuasaan, melainkan juga persepsi. Dalam perebutan persepsi itu kita bukan sekadar penonton. Kita bagian dari mekanisme yang membuat satu versi kenyataan bertahan, sementara yang lain terhapus. Oleh karena itu sikap kita -setajam apa pun atau setenang apa pun- bukan lagi netral. Sikap kita itu menjadi bagian dari hasil akhir peperangan.
Apa pun sikap politik kita, apa pun keberpihakan yang kita pilih di tengah perang yang berlangsung ini, satu hal yang tidak bisa kita lepaskan adalah kesadaran. Kesadaran bahwa dunia yang kita lihat hari ini -terutama yang muncul di layar kita- tidak datang begitu saja. Ia dibentuk, dipoles, dimanipulasi, dan sering kali dimaksudkan untuk mengarahkan kita ke satu keyakinan, satu kemarahan, atau satu simpati tertentu.