Krisis Penulis TI & Snobisme


Pada 14 Agustus 2002, sebuah email di-forward ke mailing list ICS dengan subyek "wg: introspeksi". Isinya, keluhan tentang kualitas buku-buku TI terjemahan. Berikut ini komentar saya atas posting tersebut

Menerjemahkan hanyalah salah satu metoda untuk menggali, menyampaikan, berbagi, dan memperkaya informasi. Tidak ada salahnya dengan kegiatan penterjemahan. Boleh-boleh saja -bahkan pada level tertentu, termasuk pada kategori "harus" dilakukan.

Dan poin kegelisahan pemrotes karya-karya terjemahan di bidang TI ini, saya kira, bukan terletak pada kegiatan penterjemahannya. Melainkan, kepedulian sang pemrotes -dan mungkin juga banyak pembaca bacaan TI berbahasa Indonesia lainnya- adalah bahwa informasi tentang TI seringkali disajikan secara membingungkan, salah arti, dengan akibat yang paling buruk: menyesatkan.

Ini bisa terjadi jika proses yang terjadi adalah mengkonversi satu kata asing ke kata lain dalam bahasa ibu. Saya kira, ini bukanlah sebuah proses penerjemahan, melainkan melulu sebuah proses konversi. Penerjemahan yang baik, menurut saya, bukanlah melulu sebuah proses konversi bahasa; melainkan di dalamnya juga terlibat proses transformasi dari informasi menjadi pengetahuan.

Transformasi ini mengandaikan ada keterlibatan sang penterjemah untuk memetakan hal-hal yang bersinggungan dengan pembaca berdasarkan informasi dari bahasa asli karya tersebut. Inilah yang membuat sang pembaca menjadi "tahu" sesuatu sehabis membaca sebuah karya terjemahan. Dengan kata lain, penguasaan persoalan adalah syarat bagi sang penterjemah.

Saya termasuk orang yang selama ini merasa risih membaca beberapa informasi berbahasa Indonesia di bidang TI yang tersebar di berbagai bentuk: buku, artikel majalah TI/koran, dan bahkan berita-berita TI. Meski tidak semua, tapi cukup banyak tulisan disajikan tanpa rasa percaya diri karena sang penulis sebetulnya tidak terlalu paham apa yang ditulisnya. Beberapa penulis/jurnalis bersembunyi dalam berbagai istilah teknis, yang terkesan juga tak dipahami oleh sang penulis.

Juga sebaliknya, tak semua orang yang menguasai bidang TI mampu berkomunikasi dengan baik. Ada beberapa tulisan TI yang ditulis oleh orang TI namun hanya bisa dimengerti oleh penulisnya saja. Tulisan yang sama sekali tidak komunikatif.

Beberapa diantaranya karena sang pakar tidak mampu berbahasa secara lugas. Beberapa yang lain karena sang pakar tidak menggubris kelaziman-kelaziman dalam komunikasi tertulis untuk media massa.

Namun, ada juga diantaranya yang ingin memberi kesan bahwa bidang TI adalah bidang yang hebat dan oleh karenanya harus rumit dan susah dimengerti! Kelompok ini cenderung menggunakan bahasa yang super dahsyat, istilah-istilah teknis yang rumit -meski sebetulnya seringkali hal tersebut dapat dihindari dengan sikap kerendahan hati untuk mau melayani tingkat pengetahuan pembaca yang mungkin secara teknis tidak setara dengan sang penulis.

Tentu, apa yang kita bicarakan saat ini berasumsikan bahwa kita menginginkan penyebaran pengetahuan bidang TI yang lebih luas dan mengena. Cukup sudah kerisihan kita membaca, melihat, mendengar orang berbicara atau menulis tentang teknologi tinggi tanpa dia mengerti. Seperti halnya kita sudah cukup merasa risih dengan snobisme mereka yang berburu dan memiliki perangkat-perangkat teknologi tinggi yang diperlakukan seperti burung perkutut dalam kultur Jawa lama.

Krisis penulis TI yang berakibatkan snobisme ini, dalam beberapa hal barangkali bisa diatasi dengan cara yang sederhana: meminta para penulis/jurnalis untuk lebih memahami apa yang mereka tulis; meminta para pakar di bidang TI untuk belajar menulis untuk media massa dengan cara yang lugas. Itu sangat gampang dan sederhana; setidaknya, dapat dilakukan.

Yang tersulit justru mengubah sikap budaya kita terhadap teknologi. Sadar atau tidak, meski tidak semua, banyak diantara kita punya hambatan kultural untuk bersentuhan dengan teknologi.

Entah siapa yang mulai mewariskannya dulu, dalam kultur kita, teknologi lebih banyak diperlakukan sebagai bagian dari perangkat status sosial dan kultural ketimbang sebagai alat bantu. Dalam gagasan seperti itu, teknologi merupakan sesuatu yang tak bisa disentuh oleh banyak orang; seolah hanya sebagian orang saja yang layak menyentuhnya. Hanya orang hebat yang boleh menyentuhnya, hanya orang-orang pilihan yang boleh memahaminya. Persis seperti anggapan semasa kita SMA dulu: anak IPA lebih hebat ketimbang anak IPS.

Jadilah kemudian teknologi -seperti yang dikemukakan tadi- tak lebih bagai burung perkutut dalam kultur Jawa lama: dikurung, dipajang, dan menjadi tanda ststus sosial bagi si empunya.

Inilah yang membuat pengetahuan di bidang TI menjadi sulit, terbata-bata, dan gagap untuk dikomunikasikan secara lugas ke lebih banyak orang. Ini pula yang membuat kebanyakan berita tentang TI adalah berita kejadian-kejadian di luar negeri ini; seolah tak ada peristiwa tentang TI di negeri ini, seolah sama sekali tak ada kreativitas anak negeri ini di bidang TI.

Siapa berani melawan kultur ini?


Made Wiryana menanggapi posting saya tersebut pada 18 Agustus 2002. Berikut ini tanggapan saya atas tanggapan Wiryana pada 19 Agustus 2002. Untuk memudahkan Anda membaca, saya menandai tulisan Wiryana dengan huruf italic
Masalah istilah TI, sebetulnya ini menunjukkan juga bahwa "bahasa Indonesia" masih perlu dikembangkan untuk dapat menjabarkan masalah TI. Banyak istilah TI yang sangat sulit dicari padananannya dalam bahasa Indonesia. UNtuk mencari kata pengganti dalam bahasa Indonesia sangat sulit, sehingga sering harus tetap bertahan dg istilah aslinya.

Dalam komunikasi lintas spesialisasi sekalipun, penggunaan istilah-istilah teknis bidang apapun pada saat tertentu susah untuk dihindarkan. Rasanya, juga tidak haram untuk menggunakan istilah teknis suatu bidang dalam bahasa asli-nya atau menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia; meski juga tidak mubazir untuk berupaya mencari padanannya -atau bahkan 'menciptakan' kata baru- dalam bahasa Indonesia.

Namun problem penting kita saat ini bukanlah terletak pada apakah kita boleh atau tidak menggunakan, menyerap, atau mencari padanan istilah teknis tersebut. Problem kita, menurut hemat saya, terletak pada bagaimana seorang penulis memperlakukan istilah-istilah teknis tersebut dalam tulisan yang dibaca oleh khalayak yang lintas-spesialisasi.

Sebelum menggunakan istilah teknis (baik itu dalam bentuk aslinya, padanannya, maupun kata serapannya) dalam tulisan yang disajikan untuk khalayak ramai dari berbagai latarbelakang sepesialisasi, sang penulis agaknya layak bertanya, "Apakah penggunaan istilah ini akan mempermudah pembaca memahami gagasan ataukah justru memerosokan mereka ke jurang yang gelap?"

Di samping itu memang bidang TI sendiri masih sangat baru di Indonesia

Sepakat bahwa "bidang TI sendiri masih sangat baru di Indonesia". Selain juga didorong oleh keinginan untuk menyebarluaskan pengetahuan bidang TI, memang dari situ pula tantangan-tantangan bagi penulis TI kita bermula saat ini.

(saya membandingkan saya harus menerangkan masalah security "di hadapan" rekan-rekan peneliti non TI Indonesia, menjadi sangat sulit, harus mulai dari "scratch" soal terminologi yang digunakan).

Apa boleh buat. Itu memang salah satu tantangan besarnya.

Kontak