TikToker di Amerika boleh sedikit bersenang. Pelarangan platform TikTok di negara itu ditunda beberapa bulan oleh Presiden Donald Trump. Langkah ini menunda ketidakpastian yang sebelumnya membayangi jutaan pengguna TikTok di Amerika Serikat.
Sejak 2020 pejabat Amerika Serikat menyerukan kekhawatiran atas Tiktok. Amerika Serikat mencoba memblokir akses ke TikTok dengan dalih masalah keamanan nasional terkait dengan pemiliknya yang berbasis di China, ByteDance. Pada April 2024 Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang memberi ByteDance waktu 270 hari untuk memilih antara menjual TikTok kepada pemilik dari Amerika Serikat atau salah satu sekutunya, atau menghadapi larangan.
Namun, tidak semua pihak menerima keputusan ini dengan gembira. TikToker Amerika Serikat, yang jumlahnya mencapai lebih dari 150 juta pengguna aktif, merespons dengan skeptis. Tengoklah, menjelang 19 Januari 2025 yang menandai dimulainya pelarangan TikTok di Amerika Serikat, postingan “goodbye to my Chinese spy” yang bernada sarkas trending di kalangan TikToker Amerika.
Mereka menikmati platform ini dan banyak yang meragukan dalih keamanan nasional sebagai alasan utama untuk melarang TikTok. Apakah data mereka benar-benar terancam? Atau adakah alasan lain yang tersembunyi di balik upaya ini?
Dalam perintah eksekutif yang ditandatangani 20 Januari 2025 itu, Trump memberikan syarat-syarat yang dirancang untuk mengamankan kendali Amerika Serikat atas data dan operasi TikTok. Syarat ini mencakup penyimpanan data di server domestik dan pelibatan perusahaan teknologi Amerika seperti Oracle dan Walmart dalam mengelola TikTok di Amerika Serikat. Trump menyiratkan bahwa langkah ini bertujuan memastikan bahwa TikTok tidak menjadi ancaman bagi keamanan nasional.
Namun, benarkah ini semata tentang keamanan nasional? Tidakkah ada motif lain yang melatarbelakangi keputusan ini? Misalnya, keputusan Trump ini mungkin bagian dari strategi politik untuk menarik hati para pemilih muda, kelompok demografis yang sangat menggandrungi TikTok. Atau, barangkali langkah ini dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi dari industri teknologi domestik, yang telah menjadi pendukung kuat Trump.
Motif-motif politik dan ekonomi seperti ini bisa merusak kepercayaan terhadap narasi keamanan nasional. Ketika alasan keamanan digunakan sebagai dalih untuk kepentingan politik atau ekonomi, kewaspadaan terhadap ancaman nyata akan bisa menjadi melemah. Hal ini bukan cuma relevan bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia. Dalam konteks geopolitik yang sangat sensitif, ancaman digital itu nyata dan terus berkembang.
Teknologi dan data sekarang menjadi medan utama persaingan antarnegara. Informasi yang dikumpulkan oleh platform digital bisa digunakan untuk memprediksi perilaku masyarakat, memengaruhi opini publik, atau bahkan menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik. TikTok, sebagai salah satu platform terbesar di dunia, adalah salah satu contoh bagaimana kekuatan teknologi bisa menjadi alat geopolitik.
Di Indonesia, TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan; ini adalah sumber penghidupan bagi jutaan orang, mulai dari kreator konten hingga pelaku UMKM. Namun, di balik manfaatnya, kita sering mengabaikan satu hal penting: siapa yang mengendalikan data kita?
Ketika data pengguna Indonesia dikumpulkan oleh perusahaan asing, apakah kita cukup yakin bahwa informasi ini tidak akan disalahgunakan? Sebagai negara dengan lebih dari 200 juta pengguna internet, Indonesia berada di garis depan risiko digital global. Kalau kita tidak mulai mengambil langkah untuk melindungi data dan kedaulatan digital kita, bagaimana masa depan kita dalam dunia yang semakin terkoneksi?
Imperialisme baru di era digital juga menjadi kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Perusahaan-perusahaan teknologi besar, baik yang berbasis di Amerika maupun Tiongkok, kini punya kendali yang sangat besar atas data global. Namun, sering kali kita mengabaikan implikasi ini karena teralihkan oleh kesenangan kecil yang mereka tawarkan, seperti hiburan tanpa akhir dan peluang monetisasi yang menggiurkan. Dengan menikmati manfaat ini, kita tanpa sadar menjadi bagian dari koloni digital yang dikendalikan oleh penguasa politik dan ekonomi baru.
Keputusan Trump untuk menunda pelarangan TikTok memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas geopolitik digital. Ini bukan cuma soal Amerika Serikat dan Tiongkok, tetapi juga tentang bagaimana negara-negara lain memahami, merespons, dan melindungi diri dari ancaman digital dalam konteks global.
Ancaman digital bukanlah bayang-bayang jauh, tetapi kenyataan yang kita hadapi setiap hari. Kalau kita tidak mulai mempertanyakan siapa yang memegang kendali, kita mungkin sudah terlambat untuk mempertahankan kemerdekaan digital kita.
Apakah kita ingin menjadi bangsa yang cuma menjadi pengguna teknologi, atau kita siap bertarung demi kedaulatan digital? Pilihan itu ada di tangan kita, tetapi waktu tidak berpihak pada mereka yang ragu.
Pertama kali diterbitkan di Arina.id